Friday 30 September 2016

SUMBER HUKUM INTERNASIONAL



JAWABAN TUGAS HUKUM INTERNASIONAL
SUMBER HUKUM INTERNASIONAL
(Video dengan judul “Sources of International Law Explained” Sebagai acuan jawaban)
OLEH: ANGGA PRASTYO / NIM. 14100082 / SMT. IV / KLS. C / FAKULTAS
HUKUM / UNIVERSITAS MERDEKA MALANG
1.      Sebutkan sumber-sumber hukum internasional!

Berdasarkan video “Sources of International Law Explained” sumber hukum internasional dibagi menjadi dua jenis, yaitu sumber formal dan bukan sumber formal.
a)      Sumber hukum formal                  :
-          Perjanjian Internasional (Internasional Treaties)
-          Hukum Kebiasaan (Customary Law)
b)      Bukan sumber hukum formal        :
-          Keputusan Yudisial (Judicial Decisions)
-          Tulisan-tulisan Hukum oleh Ahli (Juristic Writings)
-          Prinsip-prinsip Umum Hukum (General Principles of Law)

2.      Apakah terdapat hierarki diantara sumber-sumber hukum internasional tersebut? Jelaskan!

Berdasarkan video yang diunggah oleh akun dengan nama Lex Animata yang berjudul “Sources of International Law Explained” tersebut, tidak terdapat hierarki dalam sumber-sumber hukum internasional.

Hal tersebut diterangkan di awal video yang kurang lebih berbunyi “Unlike national laws, where sources of law are specified in a norm superior to laws an regulations, usually a constitution, no such norm exists in international law”. Yang intinya bahwa di dalam Hukum Internasional sumber-sumber hukumnya tidak seperti hukum nasional. Di dalam sumber hukum internasional tidak terdapat hukum yang paling super atau “norm superior” atau hukum yang tertinggi yang dijadikan patokan atau acuan sumber hukum internasional lainnya, seperti dalam hukum nasional yang biasanya disebut sebagai Konstitusi yang dijadikan dasar atau patokan atau acuan pembentukan hukum dan peraturan-peraturan lainnya.

3.      Jelaskan penerapan sumber-sumber hukum internasional tersebut berdasarkan Statuta Internasional Court of Justice!

Penerapan sumber-sumber hukum internasional berdasarkan Statuta Internasiona Court of Justice dalam menyelesaikan sengketa atau yang berkaitan dengan masalah internasional atau universal tercantum dalam 

Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional, yang berbunyi:
1.      Pengadilan, yang berfungsi untuk memutuskan sesuai dengan sengketa hukum internasional seperti yang diserahkan kepadanya, berlaku:
a.      Konvensi Internasional, baik umum maupun khusus, aturan menetapkan secara tegas diakui oleh negara-negara peserta;
b.      Kebiasaan Internasional, sebagai bukti dari praktek umum diterima sebagai hukum;
c.       Prinsip-Prinsip Umum Hukum yang diakui oleh negara-negara beradab;
d.      Tunduk pada ketentuan Pasal 59, keputusan hukum dan ajaran-ajaran putusan yang paling berkualifikasi tinggi dari berbagai bangsa, sebagai tambahan yang berarti untuk penentuan aturan hukum.

Pasal terkait: Pasal 59 Statuta Mahkamah Internasional
Keputusan Mahkamah tidak memiliki kekuatan mengikat kecuali antara para pihak dan dalam kasus tertentu.                                   

PENGHORMATAN TERHADAP HAK ASASI MANUSIA SEBELUM DAN SETELAH LAHIRNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA 23 SEPTEMBER 1999

PENGHORMATAN TERHADAP HAK ASASI MANUSIA
SEBELUM DAN SETELAH LAHIRNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA
23 SEPTEMBER 1999
(ANGGA PRASTYO /14100082 / VC / ILMU HUKUM / UNMER MALANG 2016-2017)
 


Contoh kasus yang berhubungan dengan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) – ‘berat’ sebelum adanya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 (23 September 1999):
  • Pembantaian Rawagede – Karawang, Jawa Barat (1945);
  • Pembantaian PKI (1965);
  • Pelanggaran HAM – Daerah Operasi Militer, Aceh (1976-1989);
  • PETRUS - Penembakan Misterius (1981-1985);
  • Kasus Tanjung Priok (1984-1987);
  • Peristiwa Aceh(1990);
  • Pembantaian di Pemakaman Santa Cruz, Dili, Timor Timur (1991);
  • Kasus Marsinah, Jawa Timur (1994);
  • Kasus Pembunuhan terhadap Udin, wartawan Harian Umum Bernas (1996); 
  •  Penculikan Aktivis Politik (1997/1998);
  • Pembunuhan ‘Dukun Santet’ – Banyuwangi (1998);
  • Peristiwa Trisakti (1998);
  • Tragedi Semanggi I & II (1998-1999);
  • Kasus Poso (1998-2000);
  • Kekerasan Timor Timur pasca Jejak Pendapat (1999); dan
  • Kasus Ambon (1999).

Contoh kasus (besar) yang berhubungan dengan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) – ‘berat’ setelah adanya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 (23 September 1999):
1
  •  Kasus Sampit / Dayak-Madura (2001);
  • Kasus Bom Bali (2002);
  • Peristiwa Abepura, Papua (2003);
  • Pembunuhan Munir (2004);
  • Pelanggaran HAM Lampung – 47 Kasus (2010);
  • Pelanggaran HAM di Maluku (2011);
  • Kematian 3 TKI di Malaysia (2012); dan
  • Pembunuhan Salim Kancil (2015).

Analisis Singkat:

Contoh-contoh kasus pelanggaran berat terhadap Hak Asasi Manusia yang selanjutnya disebut HAM diatas memanglah mempunyai latar belakang, motif dan kepentingan yang berbeda-beda, tetapi tetap saja mengandung ‘pokok’ permasalahan yang sama yaitu melanggar hak alamiah yang melekat pada diri seseorang sebagai individu yang perlu dihormati, dijaga dan dilindungi. Mulai terbit-lahirnya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) diharapkan mampu mencegah pelanggaran-pelanggaran yang serupa dengan contoh-contoh yang dipaparkan.
  
Apabila dilihat sekilas dari daftar pelanggaran HAM diatas, salah satu perbedaannya ada pada hal yang melatar belakanginya. Antara lain, sebelum lahirnya UU HAM, sebagian besar pelanggaran terhadap HAM berlatar belakang kepentingan politik kenegaraan dan Pemerintahan (rakyat dengan Pemerintah / Pemerintah menghadapi Penguasa), tetapi setelah lahirnya UU HAM, sebagian besar pelanggaran terhadap HAM berlatar belakang kepentingan pribadi atau golongan yang sebagian besar tidak menyangkut kepentingan  politik kenegaraan dan Pemerintahan.

Pada paragraph kedua tersebut, sebenarnya penulis (Angga Prastyo) berpendapat bahwa perbedaan latar belakang kepentingan masing-masing era terhadap pelanggaran HAM (sebelum dan sesudah lahirnya UU HAM) tidak dipengaruhi ada atau tidaknya UU HAM. Tetapi perbedaan tersebut dikarenakan adanya perkembangan kondisi ‘emosional’ rakyat yang kedepannya semakin membaik terhadap Pemerintah. Perkembangan yang dimaksud itulah yang menyebabkan adanya perubahan latar belakang adanya suatu pelanggaran HAM tahun demi tahun atau era demi era.

Pada sekitaran tahun 2000 ke bawah, sebagian besar yang melatar belakangi pelanggaran HAM adalah sikap ‘keegoisan’ penguasa atau bagian Pemerintah yang dianggap merugikan rakyat atau menimbulkan rasa tidak puasnya rakyat, diantaranya penguasa pada era ini tidak menganggap serius kemauan rakyat terhadap sikap Pemerintah dalam membuat kebijakan atau hal lainnya, yang artinya suara rakyat hanya seperti angina lalu saja. Dan pada tahun 2000-an keatas, yang melatar belakangi pelanggaran terhadap HAM sebagian besar adalah konflik pribadi dengan pribadi / individu dengan individu, individu dengan kelompok atau kelompok dengan kelompok.

Dari itu, walaupun UU HAM telah diterbitkan, seolah dampak positif yang ditimbulkan tidak begitu besar. Tetap saja ada pelanggaran demi pelanggaran terhadap HAM terus terjadi. Dan walaupun dampak positifnya terlihat kecil, tetapi dapat dikatakan bahwa lahirnya UU HAM ini memberikan harapan baru bagi masyarakat akan terjamin dan terlindunginya harkat dan martabat yang dimilikinya sesuai dengan pertimbangan pembuatan UU HAM ini.

Mengapa setelah lahirnya UU HAM tetap saja terjadi pelanggaran-pelanggaran HAM berat?
Pertanyaan tersebut seketika muncul seakan meragukan adanya kepastian dan jaminan dibalik terbitnya UU HAM.
Sebuah produk hukum, khususnya yang membahas mengenai sebuah perbuatan yang disertai dengan konsekuensi hukumnya pada prinsip penalaran yang wajar diharapkan memiliki kepastian dan jaminan bahwa perbuatan yang dimaksud tidak terulang lagi, tetapi lahirnya UU HAM ini sekali lagi seolah hanya memberi harapan yang kecil bagi masyarakat.

Penulis berpendapat mengenai masalah ini, bahwa tetap adanya pelanggaran terhadap HAM dipicu oleh kondisi psikologis pelaku pelanggaran yang perlu ‘dinetralkan’ atau dinormalkan. Bisa jadi bahwa pelaku pelanggaran HAM dalam melakukan tindakan yang dimaksud berada dalam berbagai macam tekanan, yang dipengaruhi pula berbagai macam permasalahan kehidupan yang sulit untuk diselesaikan, misalnya yang paling umum menurut penulis adalah permasalahan ekonomi.

Selain permasalahan ekonomi, penulis menganggap potensi lemahnya konsekuensi terhadap tindakan pelanggaran HAM, latar belakang pendidikan, konflik dalam keluarga, negatifnya pergaulan pada usia remaja, kondisi religiusitas diri juga memungkinkan pelanggaran HAM tetap terjadi.
Jadi pada akhir penulisan ini, penulis berkesimpulan bahwa lahirnya UU HAM hanya satu dari sekian banyak hal yang dapat mengurangi potensi terjadinya pelanggaran-pelanggaran terhadap HAM. Berbagai macam hal lain yang berpotensi menjadi pemicu terjadinya pelanggaran HAM harus dihilangakan atau minimal dikurangi, tidak lain untuk hal-hal tersebut sangat diperlukan kerjasama antara masyarakat dengan Pemerintah sebagai satu kesatuan yang memiliki kemauan dan tekat yang sama untuk mewujudkan kehiduapan yang damai dan mewujudkan adanya rasa penghargaan dan perlindungan terhadap Hak yang melekat alamiah yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa kepada manusia.